Friday, May 22, 2009

Pangeran yang Mencabut Tanaman

Pada zaman dahulu, ada seorang pangeran kecil yang tabiatnya amat buruk, ia keras kepala dan kejam pada sesama. Setiap orang takut kepadanya. Rakyat, pegawai istana, para menteri bahkan raja di kerajaan itu sekalipun takut kepadanya. Raja sangat gelisah memikirkan hal itu.

Untuk mengatasi masalah itu, Raja lalu mengundang seorang pertapa yang terkenal dengan kebijaksanaanya. Ia lalu menjelaskan tingkah laku sang pangeran yang buruk itu, dan memohon bantuan untuk menyadarkannya. Pertapa itu lalu berkata kepada Raja, “Yang Mulia, janganlah khawatir, saya akan berusaha memperbaiki sifatnya yang buruk itu.”

Pertapa bijaksana itu kemudian mengajak Pangeran kecil masuk ke sebuah taman. Sambil berjalan-jalan di sekitar taman, pertapa itu kemudian menunjuk ke sebatang pohon yang masih kecil. Pohon itu bernama pohon Neem.

Lantas, pertapa itu meminta Pangeran untuk memetik selembar daun pohon tersebut dan disuruh mencicipi rasanya. Pangeran lalu memasukkan daun pohon Neem itu ke mulutnya, kemudian ia merasakan daun itu sangat pahit rasanya, ia pun segera meludahkannya.

“Kalau daunnya saja sudah begitu pahit ketika pohon itu masih kecil, bagaimana pahit daunnya kalau pohon ini sudah benar-benar besar,” kata Pangeran kecil.

“Saya tidak akan membiarkan pohon ini tumbuh menjadi besar,” tuturnya kepada pertapa bijaksana itu.

Dengan amat marah, Pangeran lalu mencabut pohon itu dan mematah-matahkannya, ia tetap meludah karena pahitnya daun itu masih terasa di lidahnya.

Pertapa bijaksana melihat tingkah lakunya itu tersenyum dan bertanya, “Apakah daun pohon itu amat pahit, anakku?”

“Ya, pahit sekali,” jawab Pangeran.

“Mengapa kamu mencabut dan mematah-matahkan batang pohon yang kecil itu?” tanya pertapa itu lagi.

“Kalau daun saja sudah begitu pahit ketika pohon itu masih kecil, bagaimana pahitnya apabila pohon ini sudah tumbuh menjadi besar? Saya mencabutnya supaya ia tidak tumbuh menjadi pohon yang besar,” jawab pangeran.

Pertapa bijaksana itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata:

“Sekarang Pangeran, kamu juga seperti pohon kecil itu. Sebagai seorang Pangeran yang masih kecil, kamu sudah begitu kejam. Apabila nanti kamu menjadi raja menggantikan ayahmu, dapatkah kamu bayangkan bagaimana kejamnya kamu ini? Orang-orang akan menghancurkanmu kalau kamu sudah kejam sejak kamu menjadi pangeran kecil. Mereka akan mengatakan seperti yang kamu katakan tentang pohon kecil itu. Kalau ia sudah begitu kejam semasa kecil, bagaimana kejamnya apabila ia sudah menjadi seorang raja. Mengertikah anakku?”

Pangeran itu segera menyadari apa yang dimaksud oleh pertapa itu. Ia lalu mengucapkan terimakasih kepada pertapa mulia itu atas nasihatnya. Ia berjanji untuk mengubah tingkah lakunya, untuk menjadi orang yang baik dan bijaksana.

Setelah pangeran dewasa, menggantikan ayahnya yang sudah tua, menjadi raja, ia menjadi raja yang adil dan bijaksana yang dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Pesan moral dari cerita ini adalah kalau anak-anak mau mendengar nasihat-nasihat yang baik dari orang tuanya dan orang yang lebih tua, dan mau memperbaiki tingkah lakunya yang salah, maka mereka akan mencapai hidup yang sukses dan bahagia di masa yang akan datang. (erabaru.or.id)*

(Disadur dari buku kumpulan cerita Buddhis, “Sang Buddha Pelindungku III), Sangha Theravada Indonesia, 1996)

No comments: